Chris Zukowski, analis industri game independen, menyampaikan satu gagasan yang mungkin tak terlalu mengejutkan, tapi terasa sangat relevan bagi siapa pun yang pernah memborong game di Steam hanya karena diskon: pemain Steam adalah penimbun. “Mereka membeli game yang bahkan mereka tahu tidak akan pernah mereka mainkan,” kata Zukowski dalam sebuah tulisan terbaru yang dikutip dari GamesRadar+.
Zukowski menyebut bahwa alasan para developer bersedia memberikan potongan sebesar 30 persen kepada Valve selaku pengelola Steam adalah karena mereka sadar akan satu hal: Steam dipenuhi oleh pengguna yang suka mengoleksi game. “Marketplace ini dipenuhi oleh ‘super gamer’ yang tak segan menghamburkan uang untuk game yang mereka tak niat mainkan,” ujarnya.
Fenomena ini disebut Zukowski sebagai karakteristik para hobiis: mereka membeli bukan karena butuh atau ingin memainkan, melainkan karena ingin memiliki. Kondisi ini tak berbeda jauh dengan pecinta Lego yang menyimpan set demi set tanpa pernah dirakit, atau perajut yang menumpuk benang tanpa pernah dijadikan kain. Bahkan di Jepang, praktik ini memiliki istilah sendiri, yaitu tsundoku atau membeli buku dan menumpuknya tanpa dibaca.
Dalam artikel lawas yang dikutip Zukowski, Simon Carless mencatat bahwa pemain rata-rata di Steam hanya memainkan 48,5 persen dari koleksi game mereka. Selebihnya, tidak pernah dibuka sama sekali.
Zukowski juga membandingkan Steam dengan Netflix. Bedanya, Netflix harus bersaing dengan waktu tidur penggunanya. “Valve memecahkan persoalan yang membuat Netflix kesulitan: bagaimana menjual hiburan kepada orang-orang yang sudah punya terlalu banyak hiburan,” tulisnya. Steam, kata dia, menciptakan sebuah ilusi: bahwa di masa depan, akan ada waktu untuk memainkan semua game yang dibeli.
Realitasnya, waktu itu hampir tak pernah datang.
Hal ini bukan sekadar kebiasaan konsumen, tapi juga berkah tersembunyi bagi para developer. Zukowski menjelaskan bahwa jika semua orang bersikap rasional dengan membeli hanya game yang benar-benar akan mereka mainkan, maka industri game akan kehilangan separuh pendapatannya.
Banyak developer indie mungkin berharap game mereka dimainkan, dibahas di Discord, dan bahkan menginspirasi cosplay. Namun Zukowski menegaskan bahwa harapan tersebut sering kali tidak realistis. “Game Anda mungkin hanya akan jadi satu judul lagi di tumpukan tsundoku digital,” ujarnya.
Zukowski pun mengakui bahwa dirinya tidak kebal dari fenomena ini. Dari total koleksi game yang ia miliki di Steam, dua pertiganya belum pernah ia mainkan. Ia menyarankan agar para developer mulai memahami karakter pemain dengan lebih realistis dan tidak terlalu berharap pada keterlibatan tinggi dari setiap pembeli.
Dalam pandangan Zukowski, justru perilaku konsumtif yang tidak rasional inipembelian impulsif, keinginan untuk memiliki alih-alih memainkan—yang menjadi pondasi ekonomi platform seperti Steam. Valve, menurutnya, telah menciptakan ruang bagi para “pelaut mabuk” digital yang menghabiskan uang mereka tanpa banyak pertimbangan, dan para developer hanya perlu memahami itu.
“Jika konsumen bersikap logis, maka pasar akan menyusut drastis. Tapi karena pemain Steam adalah penimbun, developer mendapat akses ke pasar yang rela mengeluarkan uang untuk sekadar menambah koleksi,” kata Zukowski.