Beberapa tahun lalu banyak yang menganggap bahwa RPG adalah genre yang semakin tidak diminati akibat kepungan game-game multiplayer seperti MOBA atau battle royale. Menurut mereka relevansi genre ini sudah mulai terkikis.
Namun, ternyata prediksi tersebut meleset melihat beberapa game RPG yang masih menerapkan mechanics yang tradisional dan lebih taktis. Contoh: Baldur’s Gate III yang dirilis tahun 2023 silam. Banyak yang tak menyangka bahwa tradisi lama yang diangkat kembali mampu menorehkan kesuksesan tak hanya finansial, melainkan juga segudang penghargaan di perhelatan Game of the Year 2023.
Selain game garapan Larian Studios tersebut, Clair Obscur: Expedition 33 juga menunjukkan bahwa turn-based RPG ala game-game JRPG klasik seperti Final Fantasy atau Dragon Quest juga sangat diminati. Game rilisan Atlus pun juga memiliki daya pikat tersendiri dan memiliki penggemar militan. Melihat betapa game-game RPG tersebut mendapatkan penerimaan yang sangat baik, sudah bisa dibuktikan bahwa genre ini masih banyak peminatnya, tak hanya generasi lama melainkan juga generasi baru.
Melihat game-game yang kami sebelumnya sukses, sebenarnya RPG memiliki sejarah yang begitu panjang. Apalagi banyak game modern yang mengadopsi elemen yang ada pada game RPG, yang akhirnya membuat genre ini sangat fluid dan bisa beradaptasi ke berbagai bentuk. Lantas, bagaimana RPG bisa begitu distingtif? Darimana awal RPG berasal? Mari simak di sini!
Sejarah Game RPG
Kelahiran Dungeons & Dragons
Akar dari role-playing game modern sesungguhnya berawal dari tradisi wargaming dan permainan para hobbyist di abad ke-20. Salah satu tonggaknya adalah Little Wars karya H.G. Wells pada 1913, sebuah permainan menggunakan pasukan mainan yang memperkenalkan konsep perang miniatur ke masyarakat luas.

Beberapa dekade kemudian, hadir Diplomacy (1959), sebuah board game strategi yang mulai menekankan aspek negosiasi sosial dan peran pemain, jauh melampaui sekadar taktik militer. Menjelang akhir 1960-an, komunitas dan klub hobi seperti Society for Creative Anachronism, serta eksperimen Dave Wesely lewat Braunstein (1969), membuka jalan baru di mana pemain bukan lagi sekadar komandan pasukan, melainkan individu dengan karakter dan identitas khusus. Dari sinilah ide “memainkan peran” mulai terbentuk.
Perkembangan berikutnya datang di tahun 1971 ketika Gary Gygax dan Jeff Perren merilis Chainmail, sebuah wargame bertema abad pertengahan yang dilengkapi dengan aturan, mulai dari penyihir hingga naga. Di saat yang sama, Dave Arneson menjalankan campaign Blackmoor yang memperkenalkan konsep revolusioner, yaitu hit points, poin pengalaman, dan level karakter.
Pertemuan antara Gygax dan Arneson kemudian menyatukan seluruh gagasan ini ke dalam satu sistem utuh. Hasilnya adalah lahirnya Dungeons & Dragons pada 1974, RPG komersial pertama di dunia. Game ini hadir dengan penggunaan dadu polyhedral, sistem kelas karakter, dan narasi kolaboratif, sehingga meletakkan fondasi utama yang masih menjadi standar bagi RPG hingga hari ini.

Evolusi RPG ke ranah digital
Ketika komputer mulai memasuki ruang-ruang pribadi pada pertengahan 1970-an, para desainer game mencoba mentranslasikan konsep RPG dari meja ke layar. Hasilnya adalah sederet permainan berbasis teks di mainframe, seperti pedit5 yang dibuat oleh Rusty Rutherford dan dnd di sistem PLATO, yang jelas-jelas mengambil inspirasi dari Dungeons & Dragons.

Dari sana lahirlah eksperimen-eksperimen awal yang mulai memperlihatkan tampilan grafis sederhana, misalnya Orthanc (1978) dan Temple of Apshai (1979) dengan dungeon dua dimensi.

Lalu, Glenn Wichman dan Michael Tony memperkenalkan sebuah game bernama Rogue (1980), game dengan kodifikasi ASCII (American Standard Code for Information Interchange) yang memperkenalkan konsep dungeon crawling. Dari sinilah istilah roguelike lahir.

Namun, tonggak besar hadir lewat Akalabeth: World of Doom (1980) karya Richard Garriott—cikal bakal seri Ultima—serta Wizardry: Proving Grounds of the Mad Overlord (1981). Dua judul ini memperkenalkan eksplorasi dungeon berbasis sudut pandang orang pertama, turn-based combat, serta perkembangan karakter yang sebelumnya hanya ditemukan di tabletop RPG.
Memasuki dekade 1980-an, genre ini memasuki masa keemasan yang kerap disebut CRPG Golden Age. Meski genre ini mulai banyak dilirik, teknologi yang dimiliki di era itu masih tergolong belum bisa menopang imajinasi para kreator. Keterbatasan teknologi nyatanya tidak melimitasi kreativitas dari kreator game RPG eranya. Game seperti “Ultima” (seri dimulai pada tahun 1981), “Wizardry” (seri dimulai pada tahun 1981), dan “Bard’s Tale” (dimulai pada tahun 1985) menerapkan combat mechanics turn-based dan sistem leveling up. Ultima sendiri hingga kini menjadi game RPG paling berpengaruh sepanjang masa.

Seri Ultima dan Wizardry melahirkan sekuel yang makin matang, sementara Ultima III (1983) memperkenalkan peta tile-based sekaligus sistem etika “Virtue” yang menantang pemain tak hanya bertarung, tapi juga membuat pilihan moral. Tak hanya itu saja, pada era ini, tema game RPG mulai variatif: yang tadinya hanya bertema medieval, muncul tema luar angkasa melalui game Starflight pada tahun 1986. Tema luar angkasa yang diangkat Starflight memberikan pengaruh pada game-game selanjutnya, yakni seri Mass Effect garapan BioWare.

Jika menelusuri jejak game 3D, era 80-an sudah bisa kita temukan dari sebuah game RPG bernama Dungeon Master (1987). Meski kualitas visualnya belum se-solid Doom, game tersebut mampu menyuguhkan sebuah pengalaman yang imersif. Di sini, pemain diperkenalkan dengan sistem combat yang real-time, magic berdasarkan rune, dan map yang sangat besar untuk dieksplorasi.

Tak hanya tema yang luar angkasa saja yang diangkat, di tahun 1988, muncul sebuah game yang mengambil tema post-apocalyptic yang menceritakan tentang situasi di mana Amerika dihancurkan oleh bom nuklir bernama Wasteland. Banyak yang menganggap bahwa game yang lahir beberapa tahun setelahnya, Fallout merupakan spiritual successor dari Wasteland. Namun, anggapan itu dibantah oleh kreatornya sendiri bahwa Fallout sama sekali tidak terinspirasi dari game bertema post-apocalypse. Bahkan, rencana awalnya Fallout memiliki tema fantasi.
Interpretasi RPG Ala Jepang
Di sisi lain, Jepang memilih jalannya sendiri. Pada 1986, Enix dan Yuji Horii merilis Dragon Quest, RPG konsol yang menyederhanakan mekanisme kompleks menjadi format top-down, menu pertarungan, serta alur cerita yang bisa diikuti oleh khalayak luas.

Setahun kemudian, Final Fantasy (1987) oleh Squaresoft mengembangkan elemen cerita yang lebih kaya, sistem kelas (job system), serta pertempuran berbasis menu yang terus mempopulerkan genre RPG di konsol.

Di tahun 90-an, popularitas RPG barat semakin menurun. Banyak studio game yang sempat ada di atas angin mengalami stagnasi di era ini. Di sinilah developer Jepang secara mulus masuk untuk menawarkan interpretasi RPG mereka. Selain itu, sistem pertarungan JRPG berkembang dari dasar turn-based klasik ke berbagai variasi. Awal 1990-an inovasi besar turn-based mechanics diperkenalkan dengan nama Active Time Battle (ATB) yang pertama kali dipakai di Final Fantasy IV (1991). ATB memungkinkan giliran berjalan sambil waktu nyata berjalan, sehingga menjadikan battle lebih dinamis.

Selain itu muncul sub-genre baru bernama tactical RPG bermula dari game seperti Tactics Ogre (1995) dan Final Fantasy Tactics (1997) yang memindahkan pertempuran ke peta kotak (grid) dengan strategi pergantian giliran.

Action JRPG juga mulai muncul (misalnya seri Ys Falcom atau Secret of Mana), yang menggunakan kontrol langsung dalam pertarungan, mirip game action. Di era ini juga hadir sebuah game berjudul Chrono Trigger dengan combat mechanics yang menggabungkan ATB dengan “Tech combo” di mana karakter dapat berkolaborasi melakukan serangan ganda atau bertiga.

Era kejayaan PS1 di mana teknologinya sudah mendukung grafis 3D, membuat pengembang juga turut menghadirkan sebuah game RPG dengan visual 3D. Final Fantasy VII adalah salah satu game JRPG pertama yang mengimplementasikan grafis 3D dan disertai dengan cinematic cutscene. Selain dari cinematic cutscene, scoring musik yang disuguhkan juga menambah kesan dramatis.
Di konsol ini juga JRPG sangat mendapatkan tempat. Banyak game-game JRPG yang mencoba mengadopsi mechanics tradisional dan diasimilasikan dengan fitur baru. Contohnya: Legends of Legaia dan Legend of the Dragoons yang mencoba mengombinasikan turn-based mechanics dengan pengaruh game fighting. Dari segi naratif pun sangat beragam di era ini. Xenogears, game rilisan Squaresoft, ingin menyajikan suatu narasi yang berani sekaligus kontroversial.

Milenium baru telah terbuka lebar, Sony tengah mempersiapkan perilisan konsol generasi keduanya. Tepat tanggal 4 Maret 2000, Sony merilis PlayStation 2 ke pasar Jepang dan diikuti pasar Eropa, Amerika Utara, dan Australia pada beberapa tahun setelahnya. Konsol PlayStation 2 memiliki hardware yang lebih powerful. Kualitas grafis kini bisa lebih ditingkatkan secara signifikan berkat teknologi 128-bit. Pengembang dengan leluasa bisa lebih eksploratif dalam merancang battle mechanics.
Pengembang Barat di Era 1990-an hingga 2000-an
Meski tidak begitu berkembang, pada dekade 1990-an, RPG barat justru semakin matang. Blizzard lewat Diablo (1996) memperkenalkan gameplay action-RPG real-time dengan ruang bawah tanah yang selalu berbeda setiap kali dimainkan.

Setahun kemudian, Fallout (1997) hadir dengan latar pasca-apokaliptik yang menawarkan kebebasan memilih moralitas dan jalan cerita yang tak selalu linear.

Di tahun yang sama, Baldur’s Gate (1998) menghidupkan kembali nuansa D&D di layar PC lewat pertarungan taktis berbasis kelompok dan dialog yang panjang. Tak ketinggalan, Bethesda dengan The Elder Scrolls: Arena (1994) dan Daggerfall (1996) menghadirkan dunia 3D luas yang memungkinkan pemain menjelajah bebas.
Tahun 2000 menjadi titik balik pengembang dari negeri belahan barat. Memang, di era 90-an Baldur’s Gate dan Diablo telah menyelamatkan RPG barat, tetapi millennium baru ini adalah waktu di mana mereka bangkit. RPG PC mulai mengeksplorasi dunia Forgotten Realms dengan lebih luas melalui Seri seperti Icewind Dale, Neverwinter Nights, dan Baldur’s Gate II.

Sukses dengan dua seri Baldur’s Gate dan Neverwinter Nights, Bioware ingin mencoba tantangan baru. Mereka bekerja sama dengan Lucasfilm untuk membuat game RPG yang mengambil latar Star Wars. Alhasil, kolaborasi tersebut melahirkan salah satu game RPG ternama Star Wars: Knights of the Old Republic. Kolaborasi ini sekaligus membuktikan bahwa nama besar akan tetap terjaga jika digarap dengan serius.

Di era 2000-an Bioware menjadi bintang di kancah RPG terutama di dunia barat. Tak puas mengangkat Star Wars ke dalam game RPG-nya, mereka mengangkat unsur mitologi Tiongkok. Selain Bioware, Obsidian Entertainment juga cukup menjadi sorotan di sini berkat proyek lungsuran dari Bioware seperti Star Wars: Knights of the Old Republic 2: The Sith Lord (2004) dan Neverwinter Nights 2 (2006).
Di era 2000-an, Bethesda juga semakin cemerlang. Mereka meneruskan The Elder Scroll: Daggerfall dengan merilis Morrowind dengan kualitas grafis 3D yang sangat apik dan dunia yang luas. Seri ketiga dari The Elder Scroll bertahan hingga 4 tahun (2002-2005). Selepas itu, Bethesda ingin memaksa lagi hardware PC lama untuk bekerja lebih keras dengan seri keempatnya, Oblivion (2006). Oblivion memiliki kualitas grafis yang jauh lebih realistis. Pencahayaan, tekstur, dan detail menjadi hal yang paling ditonjolkan di game ini.

Menutup dekade 2000-an, Bioware kembali lagi membuat gebrakan. Yang pertama adalah game RPG dengan latar eksplorasi luar angkasa, Mass Effect. Selain itu, mereka juga ingin mengembalikan game RPG dengan tema kerajaan medieval tanpa ingin membawa embel-embel Forgotten Realm lagi. Alhasil, mereka membuat dunia baru dibawah nama Dragon Age: Origins. Dari game tersebut, Bioware kembali meraih kesuksesan berkat cerita dan gameplay yang ditawarkan Dragon Age: Origin.
Jepang Mendominasi Lagi di Tahun 2000-an
Memulai era 2000-an, Jepang sangat mendominasi di ranah RPG. Di penghujung PlayStation 1 saja, salah satu pengembangnya, Squaresoft, merilis Final Fantasy IX yang mendapatkan resepsi yang begitu baik. Begitu juga di konsol 128-bit, mulai Dreamcast yang umurnya pendek hingga PS2, GameCube dan bahkan Xbox, pasti ada saja game JRPG di konsol-konsol tersebut. Xbox generasi pertama yang dikenal minim game Jepang saja, masih ada judul seperti Shin Megami Tensei Nine dari Atlus. Di konsol generasi keenam ini dapat kita temukan beberapa deretan game JRPG seperti Final Fantasy X, Grandia II, Shadow Hearts series, dan masih banyak lagi.

Lanjut ke generasi ketujuh, developer-developer Jepang tetap produktif untuk menyuguhkan game-game RPG mereka. Di era ini, Xbox 360 kebagian porsi yang lebih banyak dibandingkan pendahulunya untuk menjadikan rumah game-game RPG. Game seperti Lost Odyssey, Blue Dragon, Infinite Discovery, dan yang lainnya menjadi game eksklusif Xbox 360.
Tahun 2010-an hingga Sekarang
Meski tidak sebanyak game multiplayer, basis penggemar RPG begitu solid. Bahkan, setiap subgenre RPG memiliki penggemar fanatiknya. Game-game RPG tetap bisa gagah bertahan ketika diserbu oleh game-game multiplayer dengan pengguna yang masif seperti DOTA 2 atau Counter Strike: Global Offensive.
Di era konsol generasi ketujuh dan kedelapan, eksistensi JRPG tidak memudar. Namun, karena ingin beradaptasi dengan gamers generasi baru, beberapa dari mereka—terutama Square Enix—menggeser arahan gameplay mechanics, yang awalnya turn-based menjadi action.
Tak hanya pengembang Jepang, pengembang dari belahan barat juga sedang subur-suburnya. Style permainan juga tak kalah variatif. Di tahun 2011, Bethesda kembali merilis seri The Elver Scrolls mereka dengan judul The Elder Scrolls V: Skyrim, yang fenomenal.
Bioware juga menyelesaikan trilogi Mass Effectnya—Mass Effect 2 tahun 2010 dan Mass Effect 3 tahun 2012.Kita juga bisa menemukan seri The Witcher besutan CD Projekt Red yang cenderung ke action atau Divinity Original Sins series dari Larian yang mengusung mechanics yang lebih taktis.
Bagaimana dengan hari ini? Banyak pihak yang skeptis awalnya ketika membicarakan tentang game RPG. Pasalnya, banyak yang menganggap combat mechanics yang bergantian tidak disukai oleh gamers generasi yang baru. Kami pun tidak menyalahkan hal tersebut lantaran pasar video game sedang mengarah ke kancah esport. Namun, keraguan tersebut ternyata dapat dipatahkan.
Game yang mengusung mechanics yang lebih tradisional ternyata sangat diterima dengan baik. Coba lihat saja: Baldur’s Gate III dan Clair Obscur: Expedition 33. Di gelaran GOTY 2023, Baldur’s Gate III mampu menyabet banyak penghargaan di ajang tersebut.

Sementara, Clair Obscur: Expedition 33 menerima pengakuan dari banyak pihak dan bahkan digadang-gadang menjadi GOTY tahun ini. Lalu, Atlus juga dengan agresif merilis beberapa game RPG besutannya, mulai dari remake Persona hingga Metaphor: ReFantazio.

Kesimpulan
Melihat dari kiprahnya di industri game, genre RPG tentu memiliki pasang surutnya. Banyak developer yang harus beradaptasi dengan zaman ketika merasa mechanics tradisional perlahan mulai ditinggalkan. Kendati demikian, melihat beberapa game RPG dengan gameplay yang lebih tradisional mendapat penerimaan yang sangat baik, kami merasa optimis bahwa genre ini akan terus menyintas.
Selain membahas tentang sejarah RPG, Gameformia juga akan menyajikan informasi menarik lainnya seputar industri game internasional dan juga Indonesia. Ikuti sosial media dan website kami untuk konten-konten menarik lainnya!