CEO Take-Two Interactive, Strauss Zelnick, meyakini bahwa teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI), khususnya generative AI, bukan ancaman bagi pekerja di industri game maupun sektor lain. Dalam pandangannya, teknologi ini justru akan membuka lebih banyak lapangan kerja di masa depan.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam sebuah diskusi di The Paley Center for Media, San Francisco Bay Area, yang membahas perubahan tren konsumen dalam dunia media. Di hadapan para peserta, Zelnick menilai bahwa peningkatan produktivitas yang dihasilkan oleh teknologi selalu berujung pada pertumbuhan ekonomi dan, pada akhirnya, peningkatan jumlah tenaga kerja.
“AI tidak akan mengurangi lapangan kerja, justru akan meningkatkannya,” ujar Zelnick menjawab pertanyaan CEO iHeartMedia, Bob Pittman, yang menjadi rekan panelisnya. “Teknologi selalu meningkatkan produktivitas, lalu meningkatkan PDB, dan akhirnya menciptakan lebih banyak pekerjaan. Pada 1865, sekitar 65 persen tenaga kerja Amerika bekerja di sektor pertanian. Kini, hanya 2 persen yang bekerja di bidang itu, namun kita mampu memberi makan seluruh Amerika dan sebagian dunia. Tidak ada yang mengeluh karena tak bisa jadi petani—faktanya, jumlah pekerjaan meningkat.”
Zelnick menilai AI merupakan inovasi positif bagi berbagai industri, namun bukan alat yang bisa menggantikan kemampuan kreatif manusia. Menurutnya, AI hanyalah sistem berbasis data dan large language model (LLM) yang tak mampu melahirkan “kejeniusan” atau menciptakan karya fenomenal.
“AI bukan mesin pembuat hit. Itu hanya kumpulan data dan komputer dengan model bahasa di atasnya,” katanya.
Lebih lanjut, Zelnick menyebut AI generatif sebagai teknologi yang “berorientasi ke belakang”—artinya, bekerja berdasarkan data masa lalu—sementara kreativitas adalah kemampuan untuk memandang ke depan.
“AI seharusnya diperlakukan sebagai alat bantu,” lanjutnya. “Sejak awal, industri kami memang menggunakan alat digital. Kini, kami meninjau sekitar 200 peluang untuk meningkatkan efisiensi dengan bantuan AI. Tapi perlu diingat, data selalu mengacu ke masa lalu, sementara kreativitas bersifat visioner. Kalau AI tampak seperti mampu memprediksi masa depan, itu karena ia hanya predictive model.”
Optimisme Zelnick muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran soal dampak AI terhadap lapangan kerja. Dalam beberapa tahun terakhir, industri game mengalami gelombang PHK besar-besaran yang membuat banyak pengembang beralih memanfaatkan teknologi AI untuk mempercepat proses kerja dan mengurangi beban biaya produksi.
Namun, Zelnick menegaskan bahwa AI tidak boleh dipandang sebagai pengganti tenaga manusia. Ia bahkan menyebut teknologi ini sebagai “parlor trick”, yang hanya terasa mengagumkan karena kebaruannya.
“Sekarang AI tampak luar biasa karena kita baru memadukan metadata dengan trik sulap. Tapi kita akan terbiasa dengan itu,” ujarnya. “Dua puluh lima tahun lalu, jika seseorang memberikan Anda versi Google saat ini, Anda pasti terpukau. Tapi sekarang? Kita menganggapnya hal biasa. Begitu pula dengan AI, di mana suatu hari nanti, ini akan menjadi hal yang sepenuhnya normal.”
Meski perusahaannya sendiri turut mengalami restrukturisasi dan pemangkasan tenaga kerja, Zelnick tetap optimistis. Ia percaya perkembangan AI akan menjadi katalis bagi pertumbuhan industri, bukan penyebab stagnasi.
“AI adalah masa depan teknologi,” tutupnya, “dan masa depan itu bukan tentang menggantikan manusia, tapi memberdayakan mereka.”

 
		