Keputusan Capcom untuk menjadikan siaran final Capcom Cup 12 dan SFL World Championship sebagai tayangan berbayar memicu kontroversi di kalangan komunitas Street Fighter.
Dalam pengumuman di Tokyo Game Show pekan lalu, Capcom menyatakan penonton harus membayar ¥4.000 (sekitar Rp600 ribu) untuk menonton Capcom Cup 12 Finals pada 14 Maret 2026, dan jumlah yang sama untuk final SFL World Championship sehari setelahnya. Perusahaan juga menawarkan paket bundel ¥6.000 ($40) untuk mengakses kedua laga pamungkas tersebut.
Kebijakan ini langsung menuai kritik dari penggemar. Banyak yang menilai turnamen justru seharusnya menjadi ajang mempererat komunitas, bukan dibatasi aksesnya. Kritik makin keras karena merchandise acara masih dijual di lokasi maupun daring, sehingga keputusan pay-per-view dianggap hanya menambah beban penggemar.
Takayuki Nakayama, sutradara Street Fighter 6, mengaku terkejut dengan langkah Capcom tersebut. Melalui akun X, ia mengatakan dirinya dan produser Shuhei Matsumoto baru mengetahui kebijakan itu ketika hadir di Tokyo Game Show.
“Kedengarannya aneh, tapi memang kenyataannya begitu,” tulis Nakayama. “Target pendapatan dan tugas tiap departemen berbeda secara fundamental. Bahkan kami di tim pengembang kaget dengan pengumuman ini.”
Ia menambahkan bahwa persoalan ini kini sedang dibicarakan di internal perusahaan. “Kami mohon maaf atas keresahan yang timbul,” ujarnya.
Kritik terhadap Capcom juga ramai di media sosial. Seorang pengguna X dengan nama Jero mempertanyakan logika keputusan tersebut: “Bukankah Capcom Cup dan Capcom Pro Tour memang ditujukan untuk promosi game? Kenapa justru dipagari dengan PPV?”
Pengguna lain, Raxyz, menyinggung dampaknya bagi penonton internasional. “Sungguh ironis, kalian justru menyingkirkan Amerika Selatan setahun setelah cerita terbesar Cup adalah anak ajaib asal Chile,” tulisnya, merujuk pada Blaz, pemain berusia 15 tahun yang finis di posisi kedua pada Capcom Cup 2025.
Sebagian orang mengingatkan bahwa membayar untuk menonton siaran turnamen game bukan hal baru di Jepang. Namun banyak yang menilai kebijakan serupa tidak cocok untuk audiens global. “Di Jepang ini normal, tapi dunia lain tidak punya budaya seperti itu. Ini bisa jadi mimpi buruk PR untuk merek kalian,” tulis pengguna X DubC.
Pendapat serupa datang dari Emezi Okorafor. Menurutnya, pasar global Street Fighter tak bisa diabaikan. “Game ini memang besar di Jepang, tapi tidak bisa bertahan hanya dengan basis penggemar di sana. Langkah ini bisa merusak reputasi di luar Jepang,” ujarnya.

 
		