Game terbaru garapan Sucker Punch, Ghost of Yotei, sukses menarik perhatian para gamer Jepang sejak dirilis pada 2 Oktober lalu. Sekuel mandiri dari Ghost of Tsushima (2020) itu dipuji karena berhasil menangkap esensi Hokkaido secara akurat dan menawan, baik dari segi lanskap, budaya, maupun atmosfernya.
Berlatar di wilayah Ezo, Hokkaido pada abad ke-17, Ghost of Yotei menghadirkan kisah Atsu, seorang pejuang yang menempuh perjalanan balas dendam terhadap enam pria yang membantai keluarganya. Meski membawa nuansa tragis, game ini juga memberi ruang bagi pemain untuk menikmati dunia terbuka yang luas, menjelajahi alam liar, berendam di pemandian air panas, dan berinteraksi dengan fauna lokal seperti rubah dan burung Japanese long-tailed tit. Banyak pemain Jepang menyebut hewan-hewan itu “menggemaskan”, terutama ketika seekor rubah menggoyangkan pantatnya setiap kali pemain mencoba menebas bambu.
Namun, di balik keimutan itu, beberapa pemain mengingatkan bahwa mengelus rubah seperti yang dilakukan Atsu dalam game bukanlah ide baik di dunia nyata. Rubah liar di Hokkaido masa kini diketahui membawa parasit echinococcosis yang dapat menular ke manusia—masalah yang tentu tak relevan dengan latar waktu Ghost of Yotei di abad ke-17.
Daya tarik utama Ghost of Yotei justru terletak pada representasi Hokkaido yang terasa otentik bagi penduduk lokal. Banyak komentar dari gamer Jepang memuji keindahan visualnya, terutama pemandangan Gunung Yotei yang menjadi pusat perhatian. Seorang pemain yang mengaku tinggal di Hokkaido membagikan foto gunung aslinya dan menulis, “Kalian mungkin mengira mereka melebih-lebihkan keindahannya, tapi Gunung Yotei memang seindah itu. Datanglah dan lihat sendiri.”
Ia juga menambahkan bahwa pilihan pengembang untuk menampilkan Gunung Yotei ketimbang Daisetsuzan—gunung tertinggi di Hokkaido—merupakan keputusan yang tepat. “Gunung Yotei berdiri sendirian, bukan bagian dari rangkaian pegunungan mana pun. Justru itu yang membuatnya memiliki faktor ‘wow’,” tulisnya.
Beberapa pemain lain mengunggah tangkapan layar dari puncak gunung di dalam game dan memuji pemandangannya yang “luar biasa indah.” Seorang pengguna lain menulis, “Aku tinggal di Ezo, tapi Ghost of Yotei terasa jauh lebih ‘Hokkaido’ daripada yang bisa kubayangkan. Terlepas dari skalanya akurat atau tidak, fakta bahwa seluruh peta merepresentasikan Hokkaido sungguh mengharukan.”
Fenomena Ghost of Yotei juga menarik perhatian di luar komunitas gamer. Perusahaan peta Zenrin, misalnya, ikut memeriahkan perilisan game ini dengan membagikan peta asli wilayah Ezo di akun X resmi mereka.
Selain dari segi visual, adegan pembuka Ghost of Yotei pun menuai banyak pujian. Dalam cuplikan tersebut, Atsu digambarkan menunggang kuda melintasi lanskap Hokkaido dengan kecepatan tinggi, diakhiri dengan kemunculan Gunung Yotei yang megah. “Film pembuka game ini melampaui semua yang lain,” tulis salah satu komentar di media sosial. Pengguna lain menambahkan, “Saat kamu berlari menaiki bukit dan tiba-tiba Gunung Yotei muncul di hadapanmu—itu momen yang sempurna. Salut untuk tim Sucker Punch atas riset dan selera artistik mereka.”
Aspek lokalisasi dan pengisi suara juga tak luput dari perhatian. Banyak pemain Jepang menyebut Ghost of Yotei memiliki “lokalisasi yang sempurna untuk pasar Jepang”—sebuah prestasi yang jarang dicapai oleh studio Barat.
Menurut sutradara Nate Fox, tim Sucker Punch melakukan banyak perjalanan riset ke Jepang untuk memastikan representasi budaya yang akurat dan penuh rasa hormat. Komitmen ini melanjutkan pendekatan mereka di Ghost of Tsushima, yang bahkan membuat Fox dan direktur kreatif Jason Connel diangkat sebagai duta pariwisata permanen untuk pulau Tsushima di dunia nyata.
Melihat antusiasme yang muncul di Jepang, menarik untuk ditunggu apakah Ghost of Yotei akan mendapat pengakuan serupa—atau bahkan melampaui reputasi pendahulunya dalam menggambarkan keindahan dan jiwa Jepang.

 
		