Masahiro Sakurai, sosok di balik kesuksesan Super Smash Bros., menyuarakan keprihatinannya terhadap masa depan industri game, terutama dalam hal pengembangan game berskala besar atau AAA. Dalam wawancaranya dengan Yahoo Japan, Sakurai menyebut bahwa model pengembangan game saat ini tidak lagi berkelanjutan dan butuh perubahan mendasar. Salah satu solusi yang ia ajukan adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan efisiensi kerja.
Kekhawatiran Sakurai bukan tanpa dasar. Dalam beberapa tahun terakhir, industri game global dilanda serangkaian krisis: mulai dari gelombang pemutusan hubungan kerja massal, pembatalan sejumlah proyek game, hingga penundaan rilis yang terus berulang demi memastikan game bebas dari bug dan layak dimainkan saat peluncuran. Masalah-masalah tersebut muncul di tengah kenaikan harga game yang kian membebani konsumen, sementara para pekerja di balik layar merasa kian tertekan.
Menurut Sakurai, pengembangan game AAA kini memakan waktu terlalu lama dan menyedot sumber daya besar, baik dari sisi tenaga kerja maupun dana. Jika tidak ada perubahan, ia menilai model ini tak akan mampu bertahan dalam jangka panjang. Ia menyebut AI sebagai salah satu kemungkinan solusi, bukan untuk menggantikan manusia sepenuhnya, melainkan sebagai alat bantu yang bisa mempercepat proses produksi dan meningkatkan kualitas game.
Pandangan Sakurai sejalan dengan kekhawatiran lain yang berkembang di industri. Pengembangan game baru, terutama untuk IP orisinal, kerap menghabiskan waktu bertahun-tahun dan anggaran ratusan juta dolar. Contohnya, Concord yang butuh hampir satu dekade untuk dikembangkan, namun dihentikan hanya dalam hitungan minggu setelah rilis. Sementara itu, seri Call of Duty bahkan disebut-sebut memiliki bujet produksi hingga mencapai USD 700 juta. Di tengah stagnasi harga jual game dan melemahnya nilai tukar, tekanan terhadap pengembang makin besar.
Meski begitu, penggunaan AI bukan tanpa kontroversi. Banyak pekerja industri khawatir kehadiran AI justru menjadi alat untuk menggantikan tenaga manusia, alih-alih meringankan beban kerja. Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh para pengisi suara, yang posisinya terancam oleh teknologi sintesis suara berbasis AI. Di sisi lain, sebagian pemain sudah menunjukkan penolakan terhadap penggunaan AI dalam game yang mereka mainkan.
Sakurai berharap, jika AI memang akan digunakan dalam proses produksi, maka fungsinya adalah sebagai pelengkap alur kerja yang ada, bukan sebagai pengganti total peran manusia. Sebab, menurutnya, masa depan industri game tak hanya bergantung pada kecanggihan teknologi, tetapi juga pada keberlangsungan para pekerja yang membangunnya.