Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) meresmikan peluncuran Indonesia Game Rating System (IGRS) dalam ajang Indonesia Game Developer Exchange (IGDX) 2025 di Bali. Langkah ini disebut sebagai tonggak penting dalam penataan industri game nasional yang kian berkembang, sekaligus upaya melindungi masyarakat, khususnya anak-anak, dari paparan konten yang tidak sesuai usia.
Melalui situs resmi IGRS, pengembang dapat melakukan penilaian mandiri terhadap konten game yang mereka buat. Hasil penilaian tersebut kemudian diverifikasi oleh pemerintah sebelum game tersebut bisa beredar di pasar Indonesia. Komdigi menegaskan bahwa penerapan sistem rating ini akan menjadi syarat wajib distribusi game di dalam negeri. Pengembang yang tidak mematuhi ketentuan dapat dikenai sanksi administratif hingga pemblokiran akses distribusi.
Kebijakan ini mengacu pada Peraturan Menteri Kominfo Nomor 2 Tahun 2024 tentang Klasifikasi Game, yang memperbarui regulasi sebelumnya dari 2016. Aturan baru ini mencakup metode penilaian, kategori usia, hingga mekanisme audit dan penindakan bagi pelanggaran. Komdigi juga bekerja sama dengan International Age Rating Coalition (IARC) agar sistem nasional kompatibel dengan standar global seperti ESRB (Amerika Serikat) dan PEGI (Eropa), namun tetap disesuaikan dengan nilai dan hukum di Indonesia.
Kategori Usia dalam IGRS
Dalam sistem IGRS, game diklasifikasikan menjadi beberapa kategori:
- 3+: Aman untuk anak-anak; tidak mengandung kekerasan, darah, bahasa kasar, narkoba, atau konten seksual.
- 7+: Boleh menampilkan elemen fantasi atau imajinatif ringan, serta interaksi daring terbatas.
- 13+ dan 15+: Dapat memuat kekerasan bergaya kartun, humor remaja, atau tema sosial kompleks.
- 18+: Ditujukan bagi pemain dewasa; memperbolehkan kekerasan realistis, alkohol, narkoba, atau perjudian simulasi.
- RC (Refused Classification): Dilarang beredar di Indonesia karena memuat unsur ekstrem, seperti pornografi eksplisit atau perjudian uang nyata.
Peluncuran IGRS mencerminkan ambisi pemerintah dalam membangun ekosistem industri game yang lebih teratur dan bertanggung jawab. Namun, sejumlah pihak menilai kebijakan ini masih menyisakan tantangan. Tanpa sistem audit yang kuat dan berkelanjutan, klasifikasi usia dikhawatirkan hanya menjadi formalitas administratif.
Selain itu, pengembang kecil dan studio independen juga berpotensi terbebani oleh biaya serta prosedur tambahan yang muncul dari penerapan regulasi baru. Di sisi lain, keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada literasi digital masyarakat. Edukasi publik mengenai arti dan pentingnya klasifikasi usia harus menjadi prioritas, agar orang tua dan anak dapat memahami konteks di balik simbol rating, bukan sekadar melihat label di layar.
IGRS menjadi uji nyata keseriusan pemerintah dalam membangun industri game yang sehat tanpa mengekang kreativitas pengembang lokal. Tantangannya kini bukan hanya menjaga perlindungan bagi pemain muda, tetapi juga memastikan regulasi yang diterapkan mampu menumbuhkan, bukan menghambat, inovasi dan kreativitas di industri game Indonesia.

 
		