Setelah membuka kesempatan bagi gamer untuk mencoba dan menilai demonya, Gamecom Team akhirnya merilis versi penuh Troublemaker 2: Beyond Dream. Sebagai pengembang, Gamecom tampak ingin membawa seri yang telah mengangkat nama mereka ini ke tahap berikutnya dengan memperluas skala dunia dan menambah sejumlah konten baru.
Obsesi mereka terhadap seri Ryu Ga Gotoku kini semakin kentara lewat format open-world yang diusung. Selain peta yang jauh lebih luas, Troublemaker 2 juga memperkenalkan konsep dua protagonis utama. Kali ini, Budi tidak lagi menjadi sosok yang hanya jadi pusat sorotan. Di sekuel Troublemaker ini ia berbagi sorotan dengan karakter lain yang bernama Jordan.
Sayangnya, saat menjajal versi demo tahun lalu, kami menemukan banyak hal yang terasa janggal. Salah satunya muncul pada sesi nge-band Jordan bersama teman-temannya di grup musik bernama Beyond Dream. Animasinya terlihat masih mentah, bahkan ketika bernyanyi, sang vokalis tidak membuka mulutnya sama sekali.
Di samping itu, hal lain yang membuat kami cukup gemas adalah kualitas audio yang terdengar tanpa proses pascaproduksi. Suara percakapan antar karakter terasa seperti hasil rekaman mentah yang langsung dimasukkan ke dalam game tanpa penyuntingan lebih lanjut.
Lalu, bagaimana versi penuh dari Troublemaker 2 Beyond Dream? Apakah Gamecom benar-benar sudah memperbaiki kekurangan yang ada pada versi demonya? Mari kita bahas di sini!
Sorotan ke Dua Orang Protagonis
Seperti yang telah kami singgung sebelumnya, sekuel game yang awalnya berjudul Parakacuk ini tidak lagi menempatkan Budi sebagai satu-satunya sosok yang disorot. Kali ini, inspirasi Yakuza 0 terlihat dengan memperkenalkan karakter baru bernama Jordan di sekuel Troublemaker ini. Bagusnya, gamecom berhasil membagi porsi antara Jordan dan Budi dengan seimbang, sehingga keduanya mendapatkan perhatian yang proporsional.
Meski keduanya hobi berkelahi, Budi dan Jordan memiliki latar belakang yang jauh berbeda. Dua tahun setelah lulus dari SMK Cipta Wiyata, Budi kini membangun kariernya sebagai atlet MMA. Kendati fokus dengan cita-citanya, Budi masih tetap berkumpul dengan geng Parakacuknya.

Sementara itu, Jordan adalah mahasiswa animasi yang juga seorang pemain keyboard di sebuah band bernama Beyond Dream.

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan mengejar cita-citanya, Budi dan Jordan harus menghadapi suatu isu yang sedang marak di kota Jayakarta, yakni meluasnya penggunaan narkoba. Budi dan teman-teman di geng Parakacuknya secara langsung terseret dalam kasus ini lantaran salah satu anggota geng tersebut, Rani menjadi anggota intelijen dari satuan kepolisian kota Jayakarta—yang entah mengapa dinamakan B.I.J.I. Sementara Jordan, karena hobi berkelahi, meski tak secara langsung, dalam beberapa kesempatan ia dan teman-temannya juga bertemu dengan sang antagonis.

Namun, Jordan di sini lebih berfokus pada cita-citanya untuk menjadi musisi ternama, sekaligus terlibat dalam kisah cinta segitiga antara dirinya, Andira (vokalis band Beyond Dream), dan Alex (gitaris band yang sama)
Kehidupan di Luar Sekolah
Pada beberapa kesempatan, sang kreator sekaligus pimpinan studio Gamecom, Nanda, secara terang-terangan menyatakan bahwa Troublemaker mengambil inspirasi secara langsung dari seri Ryu Ga Gotoku atau yang dikenal sebagai Yakuza series. Di sekuelnya ini, semakin terlihat ambisi Gamecom dalam mengejar inspiratornya tersebut. Dunianya jauh lebih luas di mana tak hanya memotret dinamika kehidupan SMK problematik, melainkan kota Jayakarta juga sebagai kota utama di semesta game ini.

Meski menggambarkan kota yang terinspirasi dari Jakarta, kota Jayakarta tidak seluas itu. Alih-alih seperti Jakarta, kami merasa kota Jayakarta terlihat seperti kota Magelang, Tasikmalaya atau kota-kota sejenis atau lebih kecil lainnya. Mungkin karena Jayakarta kota fiktif, jadi tidak terlalu bermasalah jika tidak memiliki kemiripan dengan Jakarta secara luas kota. Selain itu, kami pun tidak berekspektasi banyak lantaran Troublemaker bukanlah game dengan budget mega besar.
Dibalik keterbatasannya, kita masih bisa mengeksplorasi banyak hal di kota Jayakarta. Kita bisa berkeliling alun-alun dan menemukan beberapa detail menarik yang sangat “Indonesia” seperti warung tenda, warteg hingga manusia silver, walau tidak semuanya interaktif.

Hal yang patut diapresiasi dari Gamecom adalah perhatian mereka terhadap detail kecil dalam aspek physics. Beberapa objek di dunia game, seperti sepeda motor dan traffic cone, dapat terjatuh ketika tersenggol, sehingga memberi kesan lingkungan yang lebih responsif.
Efek tabrakan dengan pejalan kaki juga ditampilkan dengan cukup baik. Bahkan detail sederhana seperti daun-daun di pepohonan ikut berayun lembut juga menambah nilai plus dari aspek visual di game ini. Sayangnya, tidak semua elemen mendapat perlakuan serupa. Kantong plastik hitam berisi sampah, misalnya, terasa kaku dan tidak bereaksi sama sekali ketika tersenggol.
Kemudian, yang cukup membuat kami mengapresiasi game ini adalah kepadatan penduduk kota Jayakarta. Gamecom membuat kota ini tidak sepi. Meski tidak semua interaktif, NPC di kota ini memiliki beragam kegiatan seperti duduk di depan kafe, nongkrong di alun-alun kota, dan lainnya.
Mechanics yang Mudah Diikuti dan Dipahami
Sebagai game beat ‘em up, Troublemaker 2: Beyond Dream memiliki mechanics yang meski sederhana, tetapi cukup solid. Aspek yang menarik pada battle mechanics di Troublemaker 2: Beyond Dream adalah parry-nya. Parry adalah aspek yang cukup esensial dalam hal battle di game ini.
Sebagaimana parry, kita butuh timing yang tepat agar menangkis serangan musuh sekaligus memberikan damage yang cukup berarti. Kemudian, ada fitur Gerakan Gokil yang menambah variasi serangan. Sebagaimana namanya, Gerakan Gokil akan meningkatkan kekuatan serangan yang signifikan.

Kedua karakter di game ini juga memiliki perbedaan dalam hal senjata dan gaya serangan. Budi, yang merupakan atlet MMA, handal dalam kemampuan melee-nya, sedangkan Jordan dilengkapi dengan sebuah senjata berupa tongkat yang entah alasannya apa dia bawa di kesehariannya.

Game ini memasukkan elemen RPG ke dalamnya, yang memungkinkan setiap karakter bertumbuh. Sayangnya, elemen character upgrade ini terasa bland dan kurang mendalam. Ditambah lagi, alih-alih menggunakan poin seperti EXP yang yang lazim ditemukan di game-game RPG, sistem upgrade karakter di game ini justru menggunakan uang. Ya, hal ini terasa cukup janggal bagi kami
Art style yang Tidak Kongruen dengan Graphics-nya
Entah ini hanya masalah selera kami atau tidak, tapi jujur saja, kami agak terganggu dengan ketidakkongruenan arahan artistiknya. Bagi kami, salah satu keputusan artistik yang paling membingungkan di Troublemaker 2: Beyond Dream adalah ketidakkonsistenan antara gaya visual di cutscene dan tampilan dalam gameplay.
Cutscene-nya jelas ingin menonjolkan estetika ala anime yang hadir dengan cuplikan-cuplikan slideshow. Namun begitu permainan dimulai, kami merasa ada kejanggalan. Model karakter tampil dengan gaya realistis justru bertolak belakang dengan gaya anime yang dapat dilihat di setiap cutscene, sehingga membuat pergantian antara dua gaya ini terasa “kasar”.
Karena masalah artistik yang tampak tidak selaras, Troublemaker 2 seolah ragu menentukan identitas visualnya sendiri. Ketika dua pendekatan itu disatukan tanpa fondasi estetika yang konsisten, hasilnya justru membingungkan. Alih-alih memperkuat karakter, langkah ini justru membuat jarak.
Sebenarnya, ada potensi jika Gamecom mengambil langkah penuh dengan menerapkan gaya cel-shaded pada gameplay agar Troublemaker 2 bisa tampil lebih kohesif. Desain karakter bergaya anime bisa lebih sesuai dengan karakter pada sesi gameplay dengan gaya tersebut. Menurut kami, art style adalah semacam blue print yang membangun identitas game-nya itu sendiri.
Dialog yang Terdengar Tidak Natural
Selain masalah arahan artistiknya, yang menjadi masalah dari Troublemaker 2: Beyond Dream adalah aspek dialog setiap karakter. Kami merasa percakapan terdengar tidak natural. Kami merasa penulis dialog game mencoba membawa percakapan sehari-hari remaja, tanpa melihat bagaimana realitanya. Alhasil, di sepanjang permainan, kita akan mendengar banyak percakapan yang terdengar sangat cringe.

Di game ini, kita dibombardir dengan kata-kata kasar yang dilontarkan karakter-karakternya. Masalahnya, penempatan kata-kata kasar ini dieksploitasi secara berlebihan, sehingga dialognya justru terdengar seperti kumpulan umpatan saja.
Selain itu, penyisipan isu-isu sosial politik di beberapa bagian cerita juga terasa tidak pada tempatnya. Bukannya memperkaya konteks sosial atau memberi bobot moral, isu-isu tersebut justru terkesan tempelan dan tidak organik. Contohnya adalah isu inflasi yang kerap disinggung beberapa karakter di game ini terkesan dipaksakan. Malah seringkali tidak terasa adanya signifikansi di dalam game. Humor-humor yang mengangkat isu-isu ini juga terdengar cukup mengganggu.

Menurut kami, Gamecom tampaknya harus lebih memperhatikan lagi dalam pemilihan aktor. Sebagai karakter utama, pengisi suara Budi terasa kaku. Padahal, Budi adalah sosok sentral di game ini. Sayangnya, sang aktor yang mengisi suara Budi sering kurang artikulatif dalam beberapa pengucapan.
Kendati di balik segala kekurangan tersebut, keberadaan narator dalam game ini mampu menjadi penetral yang cukup efektif atas berbagai kelemahan di aspek dialog. Narator—yang tak lain adalah Rani—menjadi elemen penyelamat di balik gempuran lontaran-lontaran dialog yang menggelikan.
Cara Mengangkat Isu Sosialnya Begitu Kasar
Selain mengangkat isu pengedaran narkoba, Troublemaker 2: Beyond Dream juga ingin menyinggung isu-isu sosial politik lainnya. Dalam bab sebelumnya, kami telah mengatakan bahwa cara game ini memasukkan isu-isu sosial politik di dalam dialognya banyak yang tidak sesuai tempat. Beberapa kali, karakter di game ini menyinggung soal inflasi. Akan tetapi, cara penyampaiannya seperti hanya memberikan penjelasan secara definitif saja. Sangat terlihat begitu kurang mendalami isu inflasi itu sendiri.
Tim Gamecom sebenarnya berupaya mengangkat isu intoleransi, namun sayangnya eksekusinya terasa kurang rapi. Akibatnya, alur cerita di bagian ini justru terasa kacau. Bagaimana tidak? Dalam satu adegan, Jordan dan teman-temannya terlihat mengamen di teras masjid di kota Jayakarta. Aksi mereka ternyata mengganggu para remaja masjid yang sedang berada di sana, hingga akhirnya terjadi baku hantam antara kedua pihak. Dari cuplikan tersebut, alur cerita di bagian ini terasa dibangun dengan asal-asalan.
Mini Game dan Side Story Absurd
Inspirasi dari Yakuza kembali terasa kuat melalui unsur absurditas yang muncul di sepanjang permainan. Kita bisa menemukan berbagai momen nyeleneh, mulai dari seseorang yang buang air besar di pinggir jembatan sungai hingga gadis pramuria yang ingin mudik ke kampung halamannya. Penulisan alurnya pun kembali menunjukkan beberapa kejanggalan, meski sebagian masih bisa ditoleransi.
Hal serupa juga berlaku pada mini game-nya. Kami mengakui bahwa mini game di sini cukup menghibur, terutama sebagai selingan di tengah kejenuhan menjalani misi utama. Sayangnya, keberadaan mini game tersebut terasa hanya sebagai pemanis tambahan yang tidak memiliki keterkaitan dengan cerita utama.

Simpulan
Kami mengapresiasi upaya Gamecom yang cukup memperhatikan sejumlah masukan dari versi demo sekuel Troublemaker ini. Namun, Troublemaker 2: Beyond Dream masih memiliki banyak aspek yang perlu diperbaiki, mulai dari pembangunan alur cerita, penulisan dialog, hingga pemilihan aktor.
Di balik segala hal yang perlu diperbaiki, Troublemaker 2: Beyond Dream bukanlah game yang sama sekali tidak punya nilai lebih. Mechanics yang ditawarkan oleh game ini sudah cukup untuk sebuah game beat ‘em up. Gamecom sudah menyertakan fitur parry yang menurut kami cukup penting dalam game seperti ini.
Kami berharap, jika Gamecom berencana melanjutkan seri ini atau mengembangkan proyek baru, mereka dapat menyisihkan bujet lebih untuk riset, pematangan proses pascaproduksi, serta pemilihan aktor yang lebih tepat agar hasil akhirnya bisa dinikmati secara maksimal. Lantas, apakah Troublemaker 2: Beyond Dream patut dicoba? Jika kalian sedang mencari alternatif game AAA yang harganya yang sangat mahal, kalian bisa coba game besutan Gamecom ini.
Nilai: 6/10

 
		