Ubisoft dilaporkan membatalkan pengembangan sebuah game Assassin’s Creed yang berlatar di masa Perang Saudara Amerika Serikat. Keputusan itu disebut diambil akibat dua faktor: reaksi keras terhadap karakter Yasuke, samurai kulit hitam di Assassin’s Creed Shadows, serta situasi politik AS yang kian tegang.
Informasi tersebut berasal dari laporan investigasi Game File, yang mewawancarai lima sumber anonim, baik karyawan aktif maupun mantan pegawai Ubisoft. Menurut mereka, pembatalan proyek terjadi pada tahun 2024 setelah pimpinan perusahaan menilai tema yang diangkat terlalu sensitif, terutama di tengah langkah pemerintahan Trump yang dikabarkan berupaya membalikkan sejumlah kebijakan hak sipil dan menghidupkan kembali simbol-simbol Konfederasi, pihak yang dulu memperjuangkan perbudakan.
Game yang dibatalkan itu disebut mengisahkan mantan budak kulit hitam yang hijrah ke barat demi memulai hidup baru. Ia kemudian direkrut oleh Assassin Brotherhood, dan perjalanannya membawanya kembali ke wilayah selatan Amerika untuk menghadapi kelompok supremasi kulit putih, termasuk Ku Klux Klan. Meski masih berada pada tahap konsep dan jauh dari jadwal rilis, pengembang sudah mulai mengerjakan sejumlah elemen awal sebelum proyek itu dihentikan.
Beberapa sumber menyebut, para pengembang sebenarnya sangat bersemangat dengan proyek tersebut. Mereka percaya game itu bisa menjadi bentuk representasi sosial yang positif. Namun, pimpinan Ubisoft akhirnya memutuskan untuk membatalkannya karena dinilai “terlalu politis untuk situasi negara yang sedang tidak stabil.”
Sebagian besar cerita game tersebut akan berfokus pada era Rekonstruksi, periode pasca-perang yang bertujuan untuk memberikan kewarganegaraan kepada mantan budak serta memulihkan persatuan Amerika Serikat. Namun, proses ini dalam sejarah menghadapi perlawanan keras dari warga kulit putih di selatan, yang kemudian menggagalkan banyak reformasi dan memicu kebangkitan supremasi kulit putih setelah tahun 1877.
Tema rasial dan politik semacam ini dianggap terlalu berisiko, apalagi setelah munculnya kontroversi seputar karakter Yasuke di Assassin’s Creed Shadows. Banyak reaksi bernada rasis di media sosial yang menentang keberadaan karakter samurai kulit hitam itu. Menanggapi situasi tersebut, CEO Ubisoft Yves Guillemot pada September 2024 menegaskan bahwa perusahaan “tidak bermaksud mendorong agenda tertentu,” melainkan hanya ingin membuat “game untuk semua pemain agar bisa dinikmati.”
Pernyataan itu menegaskan kembali posisi lama Ubisoft yang mengklaim diri sebagai studio “apolitis”, meskipun banyak karyanya menyinggung konflik sosial dan kekuasaan, seperti Far Cry 5 atau The Division. Namun, mengangkat kisah Assassin kulit hitam di era Rekonstruksi jelas akan menembus batas klaim tersebut.
Pembatalan proyek ini terjadi di tengah masa sulit bagi Ubisoft. Sepanjang 2024, perusahaan dilaporkan mengalami serangkaian penundaan, penjualan game yang tidak sesuai harapan, serta penurunan nilai saham. Salah satu sumber menyebutkan kondisi finansial itu turut memengaruhi keputusan pembatalan, karena Ubisoft kini jauh lebih berhati-hati dalam mengambil risiko dibanding beberapa tahun lalu ketika masih berada di masa kejayaannya.
Apakah proyek ini berpeluang dihidupkan kembali di masa depan? Sumber Game File menyebut kemungkinan itu tetap ada, namun kecil. Melihat situasi politik di AS saat ini, serta reaksi publik terhadap laporan pembatalan tersebut—kebangkitan proyek ini tampaknya masih jauh dari kenyataan.

 
		